Selasa, 16 Mac 2010

Menjawab Fitnah terhadap Ahlul Bait dan Ulama'

Bab 43 (Kitab Riyadus Sholihin)
Memuliakan Ahli Baitnya Rasulullah s.a.w. Dan Menerangkan
Keutamaan Mereka


Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah menghendaki akan menghilangkan kotoran daripadamu semua, hai ahlul bait - yakni keluarga Rasulullah - dan membersihkan engkau semua dengan sebersih-bersihnya." (al- Ahzab: 33)

Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Dan barangsiapa yang memuliakan tanda-tanda suci - agama Allah, maka sesungguhnya
yang sedemikian itu adalah menunjukkan ketaqwaan hati." (al-Haj:32)

Keterangan:

Ahli bait Rasulullah s.a.w., yang di dalamnya termasuk pula zurriyah atau keturunannya dan yang dalam hukum Agama Islam sama sekali tidak boleh diberi sedekah dan merekapun haram pula menerimanya apabila diberi, di negeri kita pada umumnya diberi nama "Sayyid" bagi yang lelaki dan "Sayyidah" bagi yang wanita. Golongan sayyid atau sayyidah itu adalah dari keturunan Sayidina Hasan r.a. Adapun jika dari keturunan Sayidina Husain r.a., maka diberi nama "Syarif" bagi yang lelaki dan "Syarifah" bagi yang perempuan. Makna sebenarnya, sayyid adalah pemuka dari kata Saada Yasuudu, artinya mengepalai atau mengetuai, sedang Syarif artinya adalah orang yang mulia dari kata Syarufe Yasyrufu, maknanya mulia.

Dalam Hadis yang tertera ini tercantum suatu anjuran kepada kita semua, agar kita memuliakan kepada golongan mereka, tetapi ini tidak bererti bahwa kita tidak perlu memuliakan kepada golongan selain mereka itu. Perihal penghormatan terhadap siapa pun juga manusianya, tetap wajib. Jadi dalam hal penghormatan sama sekali tidak ada diskriminasi atau perbedaan, baik mengenai caranya, menemui atau berhadapan dengannya dan lain-lain lagi. Jadi jikalau di antara golongan mereka ada yang meminta supaya dimuliakan lebih dari golongan selain mereka, maka hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab manusia yang termulia di sisi Allah hanyalah yang terlebih ketaqwaannya kepada Allah Ta'ala itu belaka.

Sebagian golongan ada yang menggunakan ayat di bawah ini sebagai nash atau dalil bahawa Nabi Muhammad s.a.w. menyuruh ummatnya agar keturunan beliau s.a.w. lebih dimuliakan, lebih dihormati dan dialu-alukan daripada golongan lainnya. Ayat yang digunakan pedoman itu ialah yang berbunyi:

"Katakanlah - wahai Muhammad! Untuk ajakan itu, aku tidak meminta upah atau bayaran
kepadamu semua, melainkan kekasih sayangan terhadap keluarga". (asy-Syura:23)

Oleh sementara golongan, keluarga yang wajib dikasih-sayangi ialah keluarga Rasulullah s.a.w., dengan makna bahwa mereka yang diberi nama Sayyid, Sayyidah, Syarif atau Syarifah itu wajib lebih dimuliakan dan dihormati melebihi yang lain. Jadi makna Alqurbaa dikhususkan kepada keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husain radhiallahu 'anhuma yang keduanya itu putera Sayidina Ali r.a. dan isterinya bernama Sayidatina Fathima radhiallahu 'anha yakni puteri Rasulullah s.a.w. Tetapi beberapa ahli tafsir
menjelaskan bahawa makna dari lafaz Alqurbaa itu bukan dikhususkan untuk golongan keturunan Sayidina Hasan serta Sayidina Husain r.a. itu saja. Baiklah kita meneliti sejenak
apa yang dijelaskan dalam Ash-Shawi, sebuah hasyiyah dari Tafsir Jalalain dan hasyiyah atau
kupasan tersebut ditulis oleh Imam Ahmad ash-Shawi al-Maliki. Di antara kupasannya
mengenai lafaz Alqurbaa beliau berkata:

"Para ahli tafsir sama berselisih pendapat dalam memberikan makna ayat ini," yang
dimaksudkan ialah "kasih-sayang pada keluarga, sehingga jumlah pendapat itu menjadi tiga
macam. Selanjutnya secara ringkasnya beliau menyatakan:
(a) Kekeluargaan.
(b) Kerabat atau rasa kefamilian antara seluruh kaum muslimin.
(c) Mentaqarrubkan atau mendekatkan diri kepada Allah dengan
melaksanakan amal perbuatan yang baik dan diridhai olehNya.

Jadi kalau yang digunakan menurut bagian (a) yakni yang pertama, maka benarlah
bahawa zurriyah Nabi s.a.w. itulah yang dimaksudkan, sebagaimana juga tertera dalam
Hadis di bawah ini, yaitu no. 345.

Namun demikian, kalau ada yang mengatakan bahawa golongan mereka itu adalah
manusia suci dari dosa, ataupun sudah pasti masuk syurga, atau pada akhir hayatnya pasti
memperoleh husnul khatimah atau lain-lain yang bukan-bukan, maka sama sekali tidak
dapat diterima, sebab, memang tidak ada keterangan dalam al-Quran atau Hadis yang
terjamin kebenarannya, sebab suci atau terjaga dari dosa (ma'shum minadz-dzunub)
hanyalah para Nabi 'alaihimush shalatu wassalam, sedangkan masuk syurga ataupun
memperoleh husnul khatimah adalah semata-mata di dalam ketentuan Allah Subhanahu wa
Ta'ala.


345. Dari Yazid bin Hayan, katanya: "Saya berangkat bersama Hushain binSabrah dan
Umar bin Muslim ke tempat Zaid bin Arqam r.a. Ketika kita sudah duduk-duduk di
dekatnya, lalu Hushain berkata padanya: "Hai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan
yang banyak sekali. Engkau dapat kesempatan melihat Rasulullah s.a.w., mendengarkan
Hadisnya, berperang besertanya dan juga bersembahyang di belakangnya. Sungguh-sungguh
engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak sekali. Cubalah beritahukan kepada kita
apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah s.a.w. Zaid lalu berkata: "Hai anak
saudaraku, demi Allah,sungguh usiaku ini telah tua dan janji kematianku hampi rtiba, juga
saya sudah lupa akan sebagian apa yang telah pernah saya ingat dari Rasulullah s.a.w. Maka
dari itu, apa yang saya beritahukan kepadamu semua, maka terimalah itu, sedang apa yang
tidak saya beritahukan, hendaklah engkau semua jangan memaksa-maksakan padaku untuk
saya terangkan." Selanjutnya ia berkata: "Rasulullah s.a.w. pernah berdiri berkhutbah di
suatu tempat berair yang disebut Khum, terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau s.a.w.
lalu bertahmid kepada Allah serta memujiNya, lalu menasihati dan memberikan peringatan,
kemudian bersabda:

"Amma Ba'du, ingatlah wahai sekalian manusia, hanyasanya saya ini adalah seorang
manusia, hampir sekali saya didatangi oleh utusan Tuhanku - yakni malaikatul-maut,
kemudian saya harus mengabulkan kehendakNya - yakni diwafatkan. Saya meninggalkan
untukmu semua dua benda berat - agung - yaitu pertama Kitabullah yang di dalamnya ada
petunjuk dan cahaya. Maka ambillah amalkanlah - dengan berpedoman kepada Kitabullah
itu dan peganglah ia erat-erat." Jadi Rasulullah s.a.w. memerintahkan untuk berpegang teguh
serta mencintai benar-benar kepada kitabullah itu.

Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda: "Dan juga ahli baitku. Saya memperingatkan
kepadamu semua untuk bertaqwa kepada Allah dalam memuliakan ahli baitku, sekali lagi
saya memperingatkan kepadamu semua untuk bertaqwa kepada Allah dalam memuliakan
ahli baitku." Hushain lalu berkata kepada Zaid: "Siapakah ahli baitnya itu, hai Zaid. Bukankah
isteri-isterinya itu termasuk dari golongan ahli baitnya?" Zaid menjawab: "Ahli baitnya
Rasulullah s.a.w. ialah Ahli keluarga keturunan - Ali, Alu Aqil, Alu Ja'far dan Alu Abbas."
Hushain mengatakan: "Semua orang dari golongan mereka ini diharamkan menerima
sedekah." Zaid berkata: "Ya, benar." (Riwayat Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Ingatlah dan sesungguhnya saya meninggalkan kepadamu semua dua benda berat agung,
pertama ialah Kitabullah. Itu adalah tali agama Allah. Barangsiapa yang mengikutinya ia dapat memperoleh petunjuk, sedang barangsiapa yang meninggalkan -mengabaikan - padanya, ia akan berada dalam kesesatan."

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Abu Bakar as-Shiddiq r.a. dalam sebuah
Hadis mauquf 'aiaih, bahawasanya dia berkata: "Intailah Muhammad s.a.w. dalam ahli baitnya." (Riwayat Bukhari)

Maknanya Urqubuhu ialah jagalah dan hormati serta memuliakanlah ia, dengan menghormati serta memuliakan ahli baitnya Rasulullah s.a.w. itu.


Bab 44

Memuliakan Alim Ulama, Orang-orang Tua, Ahli Keutamaan Dan Mendahulukan Mereka Atas Lain-lainnya, Meninggikan Kedudukan Mereka Serta Menampakkan Martabat Mereka


Allah Ta'ala berfirman:

"Katakanlah - hai Muhammad, adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang
yang tidak mengetahui. Hanyasanya yang mengingat ialah orang-orang yang menggunakan
fikirannya." (az-Zumar: 9)

347. Dari Abu Mas'ud yaitu'Uqbah bin 'Amr al-Badri al-Anshari r.a., katanya:
"Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Yang berhak menjadi imamnya sesuatu kaum - waktu shalat ialah yang terbaik
bacaannya terhadap kitabullah - al-Quran. Jikalau semua jamaah di situ sama baiknya dalam
membaca kitabullah, maka yang terpandai dalam as-Sunnah - Hadis. Jikalau semua sama
pandainya dalam as-Sunnah,maka yang terdahulu hijrahnya.Jikalau dalam hijrahnya sama
dahulunya, maka yang tertua usianya.Janganlah seseorang itu menjadi imamnya seseorang yang lain dalam daerahkekuasaan orang lain itu dan jangan pula seseorang itu duduk dalam rumah orang lain itu diatas bantainya- orang lain tadi, kecuali dengan izinnya - yang memiliki." (Riwayat Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan oleh Imam Muslim: "Maka yang terdahulu masuknya
Islam" sebagai ganti "yang tertua usianya."

Dalam riwayat lain lagi disebutkan:
"Yang berhak menjadi imamnya sesuatu kaum - waktu shalat ialah yang terbaik
bacaannya terhadap kitabullah - al-Quran, dan orang yang terdahulu pandai membacanya.
Jikalau dalam pembacaan itu sama - dahulu dan pandainya, maka hendaklah yang menjadi
imam itu seorang yang terdahulu hijrahnya. Jikalau dalam hijrahnya sama dahulunya, maka
hendaknya menjadi imam seorang yang tertua usianya."

Yang dimaksudkan bisulthanihi yaitu tempat kekuasaannya atau tempat yang ditentukan untuknya. Takrimatihi dengan fathahnya ta' dan kasrahnya ra' ialah sesuatu yang dikhususkan untuk diri sendiri, baik berupa bantal, hamparan, kasur ataupun lain-lainnya.

348. Dari Abu Mas'ud r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. mengusap bahu-bahu kita
dalam shalat dan bersabda:

"Ratakanlah - saf-saf dalam shalat - dan jangan bersilih-silih lebih maju atau lebih ke
belakang, sebab jikalau tidak rata, maka hatimu semua pun menjadi berselisih. Hendaklah
menyampingi saya - dalam shalat itu - orang-orang yang sudah baligh dan orang-orang yang
berakal di antara engkau semua. Kemudian di sebelahnya lagi ialah orang-orang yang
bertaraf di bawah mereka ini lalu orang yang bertaraf di bawah mereka ini pula."
(Riwayat Muslim)

Sabda beliau s.a.w.: Liyalini diucapkan dengan takhfifnya nun -tidak disyaddahkanserta
tidak menggunakan ya'sebelum nun ini, tetapi ada yang meriwayatkan dengan syaddahnya nun dan ada ya' sesudah nun itu - lalu dibaca liyalianni -. Annuha yakni akal.
Ululahlami ialah orang-orang yang sudah baligh, ada pula yang mengertikan: ahli hilm -
kesabaran - dan fadhal - keutamaan.

349. Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Hendaklah menyampingi saya - dalam shalat - itu orang-orang yang sudah baligh
dan berakal, kemudian orang-orang yang bertaraf di bawah itu." Ini disabdakannya sampai
tiga kali. Beliau s.a.w. lalu melanjutkan: "Jauhilah olehmu semua akan berkeras-keras suara
seperti pasar. (Riwayat Muslim)

350. Dari Abu Yahya, ada yang mengatakan, namanya: Abu Muhammad, iaitu Sahal
bin Abu Hatsmah - dengan fathahnya ha' muhmalah dan sukunnya tsa' mutsallatsah - al-
Anshari r.a., katanya: "Abdullah bin Sahal dan Muhayyishah bin Mas'ud berangkat ke
Khaibar dan pada saat itu antara penduduk Khaibar - dengan Nabi s.a.w. - ada persetujuan
perdamaian. Kemudian kedua orang itu berpisah.Setelah itu Muhayyishah mendatangi
tempat Abdullah bin Sahal, tetapi yang didatangi ini sudah dalam keadaan berlumuran
darah dan telah terbunuh. Muhayyishah lalu menanamnya, terus berangkat kembali ke
Madinah. Setelah itu Abdur Rahman bin Sahal, Muhayyishah dan Huwayyishah, yakni
putera-putera Mas'ud, berangkat ke tempat Nabi s.a.w., lalu Abdur Rahman mulai berbicara,
kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Yang tua saja yang berbicara, yang tua saja yang
berbicara," sebab Abdur Rahman adalah yang termuda antara orang-orang yang menghadap
itu. Abdur Rahman lalu berdiam diri dan kedua orang itulah yang berbicara. Sesudah itu
Nabi s.a.w. lalu bersabda: "Adakah engkau semua bersumpah dan dapat menghaki orang
yang membunuhnya itu?" Seterusnya Abu Yahya yang merawikan Hadis ini - menyebutkan
kelengkapan Hadis di atas. (Muttafaq 'alaih)

351. Dari Jabir r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. mengumpulkan antara dua orang lelaki
dari golongan orang-orang yang terbunuh dalam peperangan Badar - yakni dikumpulkan
dalam sebuah kubur, kemudian beliau bertanya - kepada sahabat-sahabatnya: "Manakah di
antara kedua orang ini yang lebih banyak hafalnya pada al Quran?" Ketika beliau s.a.w.
diberi isyarat antara salah satunya, maka yang dikatakan lebih banyak hafalannya al-Quran
itulah yang lebih didahulukan untuk dimasukkan dalam liang lahad." (Riwayat Bukhari)

352. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda:
"Saya pernah melihat diri saya sendiri dalam impian di waktu saya sedang bersugi
dengan menggunakan sebatang kayu siwak. Kemudian datanglah padaku dua orang lelaki,
yang satu lebih tua daripada yang lainnya. Lalu siwak itu hendak saya berikan kepada orang
yang lebih muda, tiba-tiba ada seorang yang berkata padaku: "Berikanlah kepada yang tua."
Oleh sebab itu, maka saya berikanlah kepada yang tertua di antara kedua orang tadi."
Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai musnad dan oleh Imam Bukhari sebagai
ta'liq.

353. Dari Abu Musa r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Setengah daripada cara
mengagungkan Allah Ta'ala ialah dengan jalan memuliakan orang Islam yang sudah beruban
serta orang yang hafal al-Quran yang tidak melampaui batas ketentuan -dalam membacanya
- dan tidak pula meninggalkan membacanya. Demikian pula memuliakan seorang sultan -
penguasa pemerintahan yang adil."
Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

354. Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Tidak termasuk golongan kita - ummat Islam - orang yang tidak belas kasihan kepada
golongan kecil di antara kita - baik usia atau kedudukannya - serta tidak termasuk golongan
kita pula orang yang tidak mengerti kemuliaan yang tua di antara kita."
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Termidzi. Imam
Termidzi mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan shahih. Dalam riwayat Abu Dawud
disebutkan: "hak orang yang tua dari kita."

355. Dari Maimun bin Abu Syabib bahawasanya Aisyah radhiallahu 'anha dilalui oleh
seorang peminta-minta lalu olehnya diberi sepotong roti, juga dilalui oleh seorang lelaki yang
mengenakan pakaian baik serta berkeadaan baik, lalu orang itu didudukkan kemudian ia
makan. Kepada Aisyah ditanyakan, mengapa berbuat demikian - yakni tidak dipersamakan
cara memberinya. Lalu ia berkata: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Letakkanlah masing-masing
manusia itu di tempatnya sendiri-sendiri." Diriwayatkan oleh Abu Dawud, tetapi kata Imam
Abu Dawud: "Maimun itu tidak pernah menemui Aisyah."
Hadis ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam permulaan kitab shahihnya sebagai
ta'liq, lalu katanya: "Dan disebutkan dari Aisyah, katanya: "Rasulullah s.a.w. memerintahkan
kepada kita supaya kita menempatkan para manusia itu di tempatnya sendiri-sendiri - yakni
yang sesuai dengan kedudukannya."

Imam Hakim Abu Abdillah menyebutkan ini dalam kitabnya Ma'rifatu 'ulumil Hadis
dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis shahih.

356. Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, katanya: 'Uyainah bin Hishn datang - di
Madinah - lalu bertemu di rumah anak saudaranya-sepupunya - yaitu Hurbin Qais. Hur ini
adalah di antara golongan orang-orang yang dekat hubungannya dengan Umar r.a. dan
memang para ahli membaca al-Quran itu menjadi sahabat dalam majlisnya Umar dan yang
diajaknya bermusyawarat, baik pun mereka itu golongan orang-orang yang sudah tua
ataupun yang masih pemuda. 'Uyainah berkata kepada sepupunya: "Hai anak saudaraku, engkau ini mempunyai wajah - yakni dikenal amat baik - di sisi Amirul mu'minin ini - maksudnya Umar, maka dari itu mintakanlah izin untukku supaya aku dapat bertemu dengannya. Hur memintakan izin lalu Umar mengizinkannya. Setelah 'Uyainah masuk lalu ia berkata: "Ingat hai anaknya Alkhaththab, demi Allah, engkau ini tidak dapat memberikan banyak keenakan pada kita dan engkau tidak memerintah kepada kita dengan cara yang adil."
Umar r.a. marah padanya sehingga hampir saja bermaksud akan memberikan hukuman pada 'Uyainah itu. Tetapi Hur kemudian berkata pada Umar: "Hai Amirul mu'minin, sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabinya s.a.w. - yang ertinya: "Berilah pengampunan, perintahkan dengan kebajikan dan janganlah menghiraukan kepada orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199) dan sesungguhnya orang ini - yakni 'Uyainah - adalah termasuk golongan orang-orang yang bodoh."

Demi Allah, maka Umar tidak suka melanggar ayat tersebut ketika dibacakan padanya
dan Umar adalah orang yang paling dapat menahan dirinya - yakni paling mentaati - kepada
isi kitabullah Ta'ala itu." (Riwayat Bukhari)

357. Dari Abu Said yaitu Samurah bin jundub r.a., katanya: "Niscayalah saya dahulu
itu sebagai seorang anak-anak di zaman Rasulullah s.a.w., maka saya menghafal - berbagai
ajaran - dari beliau. Juga beliau tidak pernah melarang saya berbicara, melainkan jikalau di
situ ada orang yang lebih tua usianya daripadaku sendiri." (Muttafaq 'alaih)

358. Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah seseorang pemuda
itu memuliakan seseorang tua kerana usianya, melainkan Allah akan mengira-ngirakan
untuknya orang yang akan memuliakannya nanti, jikalau ia telah berusia tua -maksudnya
setelah tuanya pasti akan dimuliakan anak-anak yang lebih muda daripadanya."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahawa Hadis ini adalah Hadis
gharib

1 ulasan:

elfan berkata...

Apa yg diuraikan tulisan di atas, mengingatkan saya pada sejarah kaum Yahudi dengan kaum Nasrani, dimana kedua kelompok ini, saling klaim tentang keberadaan Nabi Ibrahim As. Kaum Yahudi mengklaim, bahwa Nabi Ibrahim As. itu adalah termasuk ke dalam golongan Yahudi, lalu yang kaum Nasraninya juga mengklaim bahwa Nabi Ibrahim itu adalah golongannya, kaum Nasrani.

Dengan adanya perseteruan kedua belah pihak tersebut, maka datanglah Al Quran, lalu Allah SWT berfirman: "Ibrahim bukan Yahudi dan bukan (pula) Nasrani,.........(QS. 3:67)

Begitu juga halnya dengan masalah keberadaan 'ahlul bait', disatu pihak ada kaum yang mengklaim bahwa merekalah yang satu-satunya berhak 'mewarisi' mahkota atau tahta keturunan 'ahlul bait'. Ee pihak kaum yang satunya juga tak mau kalah bahwa merekalah yang pihak pewaris tahta keturunan 'ahlul bait'. Dalil kedua pihak ini, sama-sama merujuk pada peran dan keberadaan dari Bunda Fatimah, anak Saidina Muhammad SAW bin Abdullah, sebagai 'ahlul bait' yang sesungguhnya dan sering dianggap oleh sebagian besar umat Muslim sebagai pewaris 'keturunan nabi atau rasul'.

Jika kita merujuk pada Al Quran, yakni S. 11:73, 28:12 dan 33:33 maka Bunda Fatimah ini tinggal 'satu-satu'-nya dari beberapa saudara kandungnya. Benar, jika beliau inilah, salah satu pewaris dari tahta ahlul bait. Sementara saudara kandungnya yang lainnya, tidak ada yang hidup dan berkeluarga yang berumur panjang.

Begitu juga, terhadap saudara kandung Saidina Muhammad SAW juga berhak sebagai 'ahlul bait', tapi sayang saudara kandungnya juga tidak ada karena beliau adalah 'anak tunggal'. Apalagi kedua orangtua Saidina Muhammad SAW, yang juga berhak sebagai 'ahlul bait', tetapi sayangnya kedua orangtuanya ini tak ada yang hidup sampai pada pengangkatan Saidina Muhammad SAW bin Abdullah sebagai nabi dan rasul Allah SWT.

Kembali ke masalah Bunda Fatimah, karena tinggal satu-satunya sebagai pewaris tahta 'ahlul bait', maka timbullah masalah baru, bagaimana pula status dari anak-anak dari Bunda Fatimah yang bersuamikan Saidina Ali bin Abi Thalib, keponakan dari Saidina Muhammad SAW, apakah anak-anaknya juga berhak sebagai 'pewaris' tahta ahlul bait?.

Dengan meruju pada ketiga ayat di atas, maka karena Bunda Fatimah adalah berstatus sebagai 'anak perempuan' dari Saidina Muhammad SAW, dan dilihat dari sistim jalur nasab dengan dalil QS. 33:4-5, maka perempuan tidak mempunyai kewenangan untuk menurunkan nasabnya. Kewenangan menurunkan nasab tetap saja pada kaum 'laki-laki', kecuali terhadap Nabi Isa As. yang bernasab pada bundanya, Maryam.

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa menurut konsep Al Quran, bahwa kita tidak mengenal sistim pewaris nasab dari pihak perempuan, artinya sistim nasab tetap dari jalur laki-laki. Otomatis Bunda Fatimah walaupun beliau adalah 'ahlul bait', tidak bisa menurunkan nasabnya pada anak-anaknya dengan Saidina Ali bin Abi Thalib. Anak-anak dari Bunda Fatimah dengan Saidina Ali, ya tetap saja bernasab pada nasab Saidina Ali saja.

Kesimpulan akhir, bahwa tidak ada pewaris tahta atau mahkota dari AHLUL BAIT, mahkota ini hanya sampai pada Bunda Fatimah anak kandung dari Saidina Muhammad SAW. Karena itu, kepada para pihak yang memperebutkan mahkota ahlul bait ini kembali menyelesaikan perselisihan fahamnya. Inilah mukjizat dari Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, sehingga tidak ada pihak hamba-Nya, manusia yang mempunyai status istimewa dihadapan Allah SWT, selain hamba pilihan-Nya, nabi, rasul dan hamba-Nya yang takwa, muttaqin.

semoga Allah SWT mengampuni saya.